MESKI sering bercukur, jambang dan jenggotnya sudah mulai tumbuh lebat memenuhi wajah hitam manisnya. Sekilas wajahnya terlihat sangar dan kasar. Apalagi, kalau berbicara, nadanya selalu tinggi dan meledak-ledak. Belum lagi tatapan matanya yang tajam. Orang pasti mengira, pria kelahiran Simpang Tiga, Pidie ini sosok yang angker. Ditambah riwayat hidupnya yang sering keluar-masuk penjara. Tapi tunggu dulu, dia di penjara bukan karena kasus kriminal atau residivis. Dia masuk penjara murni karena ideology yang dianut dan diperjuangkannya.
“Saya masuk penjara karena aktivitas saya di lembaga Sentral Informasi Referendum Aceh,” ujarnya singkat. Ya…SIRA memang organisasi yang paling vocal menuntut referendum saat konflik Aceh berlangsung. Saban hari dia turun ke jalan berdemo. Tak hanya itu, bersama rakan-rakannya mendirikan organisasi Himpunan Aktivis Antimiliterisme (HANTAM) dan beberapa buffer aksi. Wajar jika orang memberinya gelar tukang demo.
“Tapi itu dulu,” ucap salah satu anggota penulis konsep pidato Gubernur Aceh ini kepada Harian Aceh kemarin. Dia kebagian untuk isu yang menyangkut HAM dan Politik.
Karena terlalu sibuk berpolitik, aktivis yang sering disapa MTA ini sampai lupa menyelesaikan kuliah. Padahal sampai sekarang dia masih tercatat sebagai Mahasiswa Dakwah Jurusan Komunikasi IAIN Ar Raniry. “Ingin sih menyelesaikan kuliah, tapi berkas-berkas kuliah saya sudah hilang. Malah, NIM saja saya tidak tahu lagi,” jelasnya sambil tertawa lepas.
Pria kelahiran 5 Mei 1979 ini tercatat lima kali ditangkap oleh polisi. Salah satunya saat aksi pengibaran bendera GAM di Simpang Lima. Ketika darurat militer tempat tinggalnya di PKM IAIN Ar Raniry digerebek oleh Polisi yang datang dengan 8 truk reo. Tapi dia berhasil lolos. Selepas itu melalang-buana sampai ke Jakarta dan Bandung. Namun, nasibnya apes. MTA ditangkap polisi saat berada di asrama Mahasiswa Aceh. Polisi menuduhnya Ajudan Menteri Keuangan GAM, Muhammad Usman Lampoh Awe. Dia divonis 8 tahun penjara dengan tuduhan makar.
“Saat damai, saya mendapatkan amnesty dan bebas,” kata MTA yang juga seorang Qari ini. Sekarang, kesibukannya luar biasa. Dia dipercaya sebagai Kepala Humas SIRA dan Ketua Bidang Internal Partai Suara Independen Rakyat Aceh (Partai SIRA). Bahkan, karena ingin terus berbuat untuk Aceh, dia mendirikan sebuah Yayasan yaitu Aceh Development Expand Foundation (ADEF).
Saat ditanya, enak mana hidup dulu dengan sekarang? Sama-sama tidak enak lah. Tapi, dirinya tidak mau masuk penjara lagi. “Di dalam penjara sungguh tidak enak. Setiap hari dipukul dan merasakan daging mentah (bogem, red),” kenangnya. Padahal statusnya saat itu adalah tahanan politik. “Namun saat ini hal tersebut sudah berubah, saya sudah bebas sekarang,” ucapnya.
Namun, baginya, masa-masa hidup dipenjara adalah pengalaman yang tak terlupakan, dan akan diingat seumur hidup. “Tidak sembarang orang bisa masuk penjara,” ujarnya sambil berkelakar. Dia pantas ceria sekarang, karena baru saja mempersunting seorang gadis pujaan hati bernama Malahayati, SH, yang juga Bendara Umum Partai Rakyat Aceh (PRA). “Hitung-hitung untuk koalisi,” sambungnya mantap.(murdani)