09 March, 2009

Partai Lokal dan Genting Pemilu

Post oleh : SAIFUDDIN | Rilis : 12:34 AM | Series :
Sunday, 08 March 2009 15:04
Oleh Teuku Kemal Fasya

Awal Februari lalu, sekretaris Komite Peralihan Aceh (KPA), Abu Karim, ditembak mati di Bireuen. Karim adalah pengurus teras organisasi tersebut sekaligus caleg dari Partai Aceh (PA), bentukan KPA.

Sehari setelahnya di Aceh Besar, dua aktivis KPA diberondong siang bolong oleh orang tak dikenal. Seorang tewas dan lainnya luka parah. Hampir saat bersamaan granat nanas juga ditemukan di dalam mobil dinas Walikota Sabang. Beruntung granat yang telah dicabut cincinnya di mobil mantan juru bicara GAM itu tidak meledak. Terakhir, 12 Februari, ketua PA Ujung Kalak, Aceh Barat, juga ditemukan terbunuh di rumahnya.

Situasi memanas memaksa Gubernur Aceh Irwandi Yusuf memohon izin kepada Presiden SBY agar pemantau internasional dapat menilai proses pemilu di Aceh. Alasannya sederhana, damainya Pemilu 2009 menjadi jalan baru pembentukan tatanan politik Aceh yang demokratis. Sayang, gagasan ini tidak muncul kompak. Suara dari parlemen daerah menyatakan tidak perlu pemantau asing, cukup optimalkan instrumen pemilu yang ada (Komisi Independen Pemilihan/KIP dan Panwaslu).

Akseptabilitas Partai Lokal

Pemilu 2009 akan dikenang dalam sejarah nasional sebagai pemilu paling pluralis setelah 1955. Pada pemilu kali ini partai lokal diikutkan untuk wilayah pemilihan Aceh. Implikasi keberadaan partai lokal di Aceh tidak lepas dari hasil kesepakatan MoU Helsinki 2005 yang kemudian diterjemahkan dalam UU Pemerintahan Aceh (UU No. 11/2006 Bab XI pasal 75-88) dan peraturan organik lainnya (PP No 20/2007 tentang Partai Lokal di Aceh dan Qanun No. 7/2007 tentang penyelenggaraan pemilu di Aceh).

Berdasarkan yuridis, keenam partai lokal yang ikut pemilu: Partai Aceh (PA), Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA), Partai Rakyat Aceh (PRA), Partai Bersatu Atjeh (PBA), Partai Daulat Aceh (PDA), dan Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS) adalah sah legitimasinya. Pernah muncul partai perempuan, Partai Aliansi Rakyat Aceh (PARA), tapi tidak lulus seleksi oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP).

Dari keenam partai, PA-lah yang paling menonjol. Dibentuk oleh KPA, organisasi sosial-politik yang tak lain transformasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Simbol dan platform politik sangat khas, gabungan antara retorika politik baru dan organisasi massa ala clandestine. Maklum PA saat ini diisi oleh para intelektual dan eks kombatan yang mahir memobilisasi.

Dari beberapa penelitian tentang partai lokal Aceh (Edward Aspinall dan Sidney Jones), terlihat kekuatan “pemberontak” masih mendominasi proses kontestasi pemilu ke depan. Tiga partai lokal yang paling prospektif (PA, PRA, dan SIRA) diperkirakan menguasai total suara 40-60 persen suara pemilih di Aceh. Indikatornya adalah capaian hasil Pilkada lalu bahwa kontestan pertama (Irwandi-Nazar) dan kedua (Humam-Hasbi) berasal dari calon independen. Kekuatan inilah yang menopang calon independen pada Pilkada lalu dan kini berafiliasi ke dalam partai lokal (PA dan SIRA).

Sisanya akan diperebutkan oleh partai-partai nasional dan lokal lainnya. Partai nasional yang dianggap masih memiliki loyalis yang baik di Aceh, berkaca hasil Pemilu 1997, 1999, dan 2004 adalah Partai Golkar, PPP, PAN, dan PKS. Kuda hitamnya adalah Partai Demokrat (PD) karena efek kinerja positif SBY-JK atas perdamaian Aceh.

Kemunculan PA dan bisa jadi pemenang Pemilu 2009 pasti akan membongkar tatanan politik Aceh. Aceh pasti terlihat semakin baru dan menantang. Sebagian pihak melihat hasil itu sebagai jalan panjang menuju kemerdekaan. Sebagian lain menilai sebagai cikal-bakal menguatnya identitas lokal yang semakin menarik batas antara Aceh-Jakarta.

Namun seharusnya segala asumsi berlebihan ini ditepikan jika mau melihat secara lebih ke dalam. Dinamika riil internal KPA sendiri adalah jawaban, bahwa kekuatan tersebut tidaklah tunggal. Ada tarik-menarik antara kelompok moderat-progresif yang pro seratus persen MoU Helsinki dan kelompok konservatif yang masih memikirkan kemerdekaan teritorial serta menggugat MoU Helsinki. Kelompok pertama sejauh ini adalah pemenang dalam politik dan pengaruh di masyarakat. Secara serius mereka menunjukkan perjuangan politik dalam koridor NKRI, yaitu Aceh yang adil dan sejahtera. Kelompok pertamalah yang mengisi sel-sel politik yang berbiak seperti sekarang ini, sedangkan kelompok kedua adalah segelintir sisa-sisa lama yang sebenarnya tinggal dirangkul dan diberi penyadaran. Kelompok kedua berasal dari daerah basis yang sangat menderita di masa konflik.

Namun dinamika internal ini dimanfaatkan oleh kelompok perusak demokrasi (spoiler of democracy) untuk membangun citra negatif parpol lokal, terutama PA. Rangkaian bom, penembakan aktivis PA, dan kriminalisasi aktivitas partai diharapkan akan memberikan defisit demokrasi bagi mereka. Bahkan diskriminasi pun menyebar dengan kemasan komunikasi anti-damai: separatis, PKI, partai pemberontak, partai anti-Syariat Islam, dsb.

Kerja Sia-sia

Sebenarnya pekerjaan memperburuk citra PA melalui aksi bom ini tidak sejajar dengan produksi image negatif. Kasus Hamas di Gaza memberikan gambaran, bahwa semakin ditekan kelompok yang setia di sisi si lemah maka semakin terakumulasi simpati dan dukungan.

Dibandingkan melemparkan tuduhan, aparat keamanan harus mampu membongkar jaringan konspiratif yang selama ini memainkan politik kontra-intelejen dan kekerasan di Aceh. Politik seperti ini akan merugikan demokrasi dan masa depan Aceh. Praktik teladan adalah memperbaharui hubungan secara konstruktif antar-partai (parpol lokal vs parpol nasional dan antarparpol lokal sendiri). Upaya menghadirkan tim pemantau asing sangat diperlukan untuk menjaga irama politik fair tersebut dan menghindari politik tikam belakang. Pihak kepolisian harus berada di garda terdepan, melindungi setiap hak sipil—apapun baju dan bendera partainya—dari ancaman dan kekerasan.

Politik juga bukan barang statis. Keberhasilan PA merebut simbol-simbol rakyat bukan tak mungkin dilakukan oleh partai nasional. Tapi selama ini partai nasional terlihat kurang tekun membangun kode-kode politik rakyat. Padahal, politic is art of possibility, seni keserbamungkinan.

Sangat penting menjaga irama demokrasi, demi Aceh damai dan demi kepentingan nasional. Agar bangsa ini tidak bangkrut sia-sia, dan kecemburuan makin menganga.

*Teuku Kemal Fasya, Dosen FISIP Universitas Malikussaleh.

google+

linkedin